Sepeda
motor ternyata memiliki riwayat yang cukup panjang di Indonesia, tidak
terlalu lama dibandingkan dengan sejarah terciptanya sepeda motor dunia
itu sendiri, bahkan lebih awal dibanding dengan kedatangan sepeda motor
di Amerika Serikat. Dalam sejarahnya, sepeda motor pertama kali banyak
dicoba dibuat di Perancis, Jerman dan Inggris pada pertengahan abad 19,
atau sekitar tahun 1860-an dengan mesin uap. Sepeda motor akhirnya
dirasa cukup komersil untuk dijadikan industri dan dibuat secara masal
oleh Hildebrand & Wolfmüller pada tahun 1894, meskipun kemudian
perusahaan ini gagal secara finansial. Hildebrand & Wolfmüller
membuat sepeda motor bermesin dengan bahan bakar minyak setelah
bergabungnya Alois Wolfmüller dengan duo Heinrich and Wilhelm Hidebrand
yang sebelumnya membuat dengan mesin uap.
Sepeda motor Hildebrand & Wolfmüller inilah yang menjadi sepeda
motor pertama yang datang ke Indonesia. Diimpor secara langsung lewat
pelabuhan Surabaya dari pabriknya di Muenchen, Jerman oleh John C.
Potter ekspatriat asal Inggris yang bekerja sebagai masinis di Pabrik
Gula Oemboel, Probolinggo, yang saat itu masuk dalam Karesidenan Besuki
yang meliputi wilayah Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, Jember dan
Banyuwangi, Jawa Timur. Pada masa tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda
tengah menjalankan politik tanam paksa
(cultuur stelsel) dan
membolehkan pihak asing dari luar Belanda untuk menjalankan usahanya
dengan sejumlah pajak tertentu. Gula adalah salah satu komoditas
favorit, dan pabrik gula - yang tentunya termasuk perkebunan tebu -
Oemboel dimiliki oleh keluarga Etty asal Inggris.
Masih simpang siur mengenai kepastian angka tahun kedatangan sepeda
motor pertama di Indonesia ini. Disebutkan oleh buku Krèta Sètan
(De Duivelswagen)
bahwa sepeda motor tersebut masuk tahun 1893, tetapi sepeda motor
tersebut baru dibuat secara komersil tahun 1894. Yaah, intinya, sepeda
motor pertama yang masuk ke Indonesia adalah salah satu sepeda motor
komersil pertama yang diproduksi di dunia.
Sepeda motor ini tidak menggunakan rantai dan roda belakang
digerakkan langsung oleh kruk as (crankshaft). Meski berusia ratusan
tahun, ternyata motor komersial pertama di dunia ini sudah mengusung
teknologi yang sampai saat ini masih dipakai diantaranya adalah
twin-cylinder horizontal, 4 valve, berpendingin air, dan berkapasitas
mesin besar yaitu 1.500 cc dengan bahan bakar bensin atau nafta. Namun,
meski bermesin besar tetapi tenaga kuda yang dihasilkan hanya 2,5HP
saja pada 240rpm. Selain itu, sepeda motor ini belum menggunakan
persneling, belum menggunakan magnet, belum menggunakan aki (accu),
belum menggunakan koil, dan belum menggunakan kabel listrik.
Diperlukan waktu sekitar 20 menit untuk menghidupkan dan mestabilkan
mesinnya.
Spesifikasi Motor Hildebrand & Wolfmüller
Pabrikan |
Hildebrand & Wolfmüller |
Produksi |
1894–1897 |
Mesin |
1,489 cc (90.9 cu in) two-cylinder water-cooled four-stroke, surface carburetor |
Bore / stroke |
90 mm × 117 mm |
Top speed |
45 km/h |
Power |
2.5 bhp (1.9 kW) @ 240 rpm |
Ignition type |
Hot tube |
Transmisi |
Direct drive via connecting rods |
Jenis rangka |
Steel tubular |
Rem |
spoon brake, friction against front tire |
Ban |
pneumatic, depan 26 in (66 cm), belakang 22 in (56 cm) |
Berat |
50 kg |
Ketika itu warga pun takut dan terkaget-kaget melihat ada mesin yang
digerakan tanpa kuda. Mereka menyebutnya sebagai 'kereta setan'.
Demikian ditulis dari ensiklopedi Jakarta.
Pada 1899, di negeri ini juga sudah hadir sepeda motor listrik beroda
tiga yang menggunakan tenaga baterai, yang bernama De Dion Bouton
Tricycle buatan Perancis. Sepeda motor listrik beroda tiga itu juga
digunakan untuk menarik wagon penumpang. Sepeda motor De Dion Bouton
cukup terkenal di masanya.
Pada awal tahun 1900an, sepeda motor mulai jadi tren kaum elite di
Hindia Belanda. Pemakainya cuma pejabat pemerintahan, pengusaha
perkebunan, atau bos pabrik gula. Ketika itu memang pengusaha perkebunan
dan gula hidup mewah bak jutawan. Mungkin seperti para miliuner di
zaman sekarang.
Sepeda motor lain terlihat pada tahun 1902 yang juga digunakan untuk
menarik wagon yaitu sepeda motor Minerva buatan Belgia. Mesin Minerva
saat itu juga dipesan dan digunakan pada merk motor lain sebelum bisa
membuat mesin sendiri, diantaranya adalah Ariel Motorcycles di Inggris.
Pada 1906, Administratur Bantool (Bantul) di Yogyakarta juga terlihat
mempunyai sepeda motor dan beberapa buah mobil. Pada masa itu, memang
hanya orang Belanda dan Inggris serta disusul pribumi ningrat yang
mempunyai kemampuan membeli sepeda motor pada masa-masa awal.
Seiring dengan pertambahan jumlah mobil, jumlah sepeda motor pun
terus bertambah. Lahirlah klub-klub touring sepeda motor, yang
anggotanya adalah pengusaha perkebunan dan petinggi pabrik gula.
Berbagai
merek sepeda motor dijual di negeri ini, mulai dari Reading Standard,
Excelsior, Harley Davidson, Indian, King Dick, Brough Superior,
Henderson, sampai Norton. Merek-merek sepeda motor yang hadir di negeri
ini dapat dilihat dari iklan-iklan sepeda motor yang dimuat di surat
kabar pada kurun waktu dari tahun 1916 - 1926. R.S Stockvis &
Zonnen Ltd merupakan salah satu perusahaan yang tercatat menyediakan
suku-suku cadang motor dan mobil (juga mengurus pesanan mobil-mobil
Eropa maupun Amerika).
Tour de Java
Pengendara mobil di Indonesia masa itu ternyata tidak lepas dari
gelegak kompetisi seperti pengendara di luar negeri. Mereka acap kali
membuat catatan rekor perjalanan dan jalur yang dianggap umum saat itu
adalah Batavia - Soerabaja. Tidak mau kalah dengan pengendara mobil,
pengendara sepeda motor pun berupaya membukukan rekor perjalanan lintas
Jawa dari Batavia (Jakarta) sampai Soerabaja (Surabaya) yang berjarak
sekitar 850 kilometer. Namun, tidak seperti rute mobil yang dicatat
secara rinci dalam sumber sejarah, rute sepeda motor agak umum. Hanya
disebutkan dari Batavia kearah Bandung, Semarang, Blora, Tjepu, menuju
Soerabaja.
Tanggal 7 Mei 1917, Gerrit de Raadt dengan mengendarai sepeda motor
Reading Standard membukukan rekor perjalanan dari Jakarta ke Surabaya
dalam waktu 20 jam dan 45 menit.
Sepuluh hari setelahnya, 16 Mei 1917, Frits Sluijmers dan Wim Wygchel
yang secara bergantian mengendarai sepeda motor Excelsior memperbaiki
rekor yang dibukukan Gerrit de Raadt. Mereka mencatat waktu 20 jam dan
24 menit, dengan kecepatan rata-rata 42 kilometer per jam.
Rekor itu tidak bertahan lama. Sembilan hari sesudahnya, 24 Mei 1917,
Goddy Younge dengan sepeda motor Harley Davidson membukukan rekor baru
dengan catatan waktu 17 jam dan 37 menit, dengan kecepatan rata-rata 48
kilometer per jam.
Rekor itu sempat bertahan selama lima bulan sebelum dipecahkan oleh
Barend ten Dam yang mengendarai sepeda motor Indian dalam waktu 15 jam
dan 37 menit pada tanggal 18 September 1917, dengan kecepatan rata-rata
52 kilometer per jam.
Melihat rekornya dipecahkan oleh Barend ten Dam, enam hari
sesudahnya, 24 September 1917, Goddy Younge yang berasal dari Semarang
kembali mengukir rekor baru dengan catatan waktu 14 jam dan 11 menit,
dan kecepatan sepeda motor Harley Davidson yang dikendarainya rata-rata
60 kilometer per jam.
Gerrit de Raadt yang pertama kali membuat rekor 20 jam 45 menit
kemudian memperbaiki rekor terakhirnya dengan sepeda motor Rudge pada 18
Agustus 1932 dengan catatan waktu 10 jam 1 menit atau tidak lebih dari
setengah waktu rekor pertamanya. Saat inipun, menempuh Jakarta –
Surabaya dalam waktu 10 jam mengendarai motor merupakan pencapaian yang
tidak mudah.
Sejak tahun 1934, rute Batavia-Soerabaja tidak lagi hanya melalui
Bandung yang jaraknya 845 kilometer, tetapi juga melalui jalur utara
(lewat Pamanukan) yang jaraknya lebih pendek 45 kilometer.
Pasca Kemerdekaan
Pada tahun 1950, ribuan motor BMW masuk ke Indonesia dengan dua cara,
yaitu lewat jalur pemerintah (hanya perwira yang diizinkan) dan lewat
jalur swasta dengan membangun tempat pameran dan pemesanan. Di Bandung
saat itu ada dua, yaitu NV Spemotri yang gedungnya saat ini menjadi Bank
Niaga di Dago, dan CV Dennbarr di Simpang Lima Bandung. Yang paling
banyak masuk Indonesia adalah BMW satu silinder 249 cc, yaitu R25, R26,
dan R27. Awalnya motor ini digunakan untuk pengawalan VIP. Namun banyak
pula penggemar motor yang ikut memesan. BMW menjadi semacam kendaraan
resmi pembuka jalan acara kenegaraan seperti ketika mengawal masuknya
bendera Merah Putih ke Bandung tanggal 28 September 1961. Varian
langka BMW R51/2 500 cc keluaran 1952 diyakini hanya ada dua di
Indonesia.
Pada awal tahun 1960-an, skuter Vespa masuk Indonesia disusul dengan
skuter Lambretta pada akhir tahun 1960-an. Pada masa itu, masuk pula
sepeda motor asal Jepang, Honda, Suzuki, Yamaha, dan belakangan juga
Kawasaki. Pada akhirnya, bagaimanapun, seperti juga terjadi di seluruh
dunia, motor (mobil) Jepang akhirnya merajai pasar otomotif dunia.
Akhir tahun 1960an, motor produksi Jepang mulai masuk ke Indonesia dan mencapai puncaknya tahun 1970.
Motor produksi Jepang rata-rata berharga murah, dengan kapasitas
mesin kecil dan perawatan yang mudah. Sepeda motor kini bukanlah milik
orang kaya lagi.
Tahun 1970an Kapolri Jenderal Hoegeng mewajibkan pengendara motor
mengenakan helm. Hoegeng prihatin dengan banyaknya angka kecelakaan yang
menimpa pemotor. Saat itu kebijakan helm yang diterapkan Hoegeng
dianggap kontroversial dan belum umum.
Motor Merk Lokal
Sepeda motor dengan merk lokal Indonesia mulai bermunculan pada tahun
2000-an atau setelah reformasi 1998. Diawali dengan booming motor-motor
asal China yang berharga murah yang diminati masyarakat sebagai dampak
inflasi tinggi setelah reformasi membuat sepeda motor yang didominasi
merk Jepang menjadi mahal. Pada tahun 2000 hadir Kanzen yang dimiliki
oleh menteri perindustrian saat itu, diikuti Viar yang berbasis di
Semarang. Kemudian di akhir dekade awal 2000an hadir Minerva (tidak ada
hubungan dengan Minerva Belgia) dan MAK (Mega Andalan Kalasan).
Sayangnya merk-merk lokal ini belum mampu bersaing dengan merk yang
lebih dulu hadir, entah karena minimnya dukungan pemerintah, dukungan
kapital, kualitas produk atau keengganan masyarakat Indonesia sendiri.
Bahkan Kanzen yang sempat dipegang oleh petinggi negara sudah tidak
terdengar lagi sekarang.
Sumber:
wikipedia.org,
motorlama.com,
merdeka.com.
0 komentar:
Poskan Komentar